
Disyari’atkannya qurban merupakan simbol pengorbanan hamba kepada Allah
SWT, bentuk ketaatan kepada-Nya, dan rasa syukur atas nikmat kehidupan
yang diberikan Allah SWT kepada hamba-Nya.
Qurban dalam istilah fiqih disebut udhhiyyah.
Hukumnya menurut jumhur ulama adalah sunnah muakkadah (sunnah yang
sangat ditekankan), sedangkan menurut Madzhab Hanafi hukumnya wajib.
Hukumnya yang sunnah tersebut tidak akan menjadi wajib kecuali jika
dinadzarkan. Kata udhhiyyah sendiri berasal dari kata dhahwah, yaitu datangnya waktu siang sesudah terbit matahari. Dinamakan demikian karena permulaan waktu udhhiyyah
adalah setelah terbit matahari dan setelah dilakukan shalat dua rakaat
dan dua khutbah yang ringan pada hari nahar atau ‘Idul Adha, yaitu hari
kesepuluh bulan Dzulhijjah. Dan waktu berqurban terus berlanjut hingga
tanggal 11, 12, dan 13 bulan tersebut yang disebut hari-hari tasyriq.
Waktu udhhiyyah habis bersamaan dengan terbenamnya matahari di hari
tasyriq ketiga, yaitu hari ke-13 bulan Dzulhijjah.
Sedangkan makna udhhiyyah menurut istilah adalah na’am (hewan ternak)
yang terdiri dari kambing, unta, kerbau, atau sapi, yang disembelih pada
hari Idul Adha dan hari-hari tasyriq, sebagai taqarrub atau upaya
untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT.
Dari makna udhhiyah atau qurban ini dapatlah kita katakan, hakikat
qurban itu terdiri dari tiga perkara. Pertama, yang disembelih adalah
hewan na‘am (hewan ternak), yaitu kambing, unta, sapi, atau kerbau.
Kedua, disembelihnya pada hari ‘Idul Adha dan hari-hari tasyriq. Ketiga,
dilakukan sebagai taqarrub kepada Allah SWT.
Di dalam surah Al-Kautsar ayat 1-2 disebutkan, yang artinya,
“Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu nikmat yang banyak. Maka
dirikanlah shalat karena Tuhanmu, dan berqurbanlah.”
Pada hadits yang diriwayatkan dari Aisyah RA disebutkan, Nabi SAW bersabda, “Tidaklah
anak Adam melakukan suatu perbuatan pada hari nahar (hari ‘Idul Adha)
yang lebih disukai Allah daripada menumpahkan darah, yakni menyembelih
qurban. Sesungguhnya qurbannya itu akan datang pada hari Kiamat bersama
semua tanduknya, kukunya, dan bulu-bulunya. Dan sesungguhnya darahnya
itu jatuh di sisi Allah di suatu tempat sebelum jatuh ke bumi. Maka
merasa nyamanlah engkau dengan qurban-qurban itu.” (HR Ibn Majah dan
At-Tirmidzi).
Sedangkan dalam hadits yang diriwayatkan dari Zaid bin Arqam disebutkan,
“Aku pernah berkata atau mereka pernah berkata, ‘Wahai Rasulullah, apa sebenarnya qurban-qurban ini?’
Beliau menjawab, ‘Ia merupakan sunnah bapak (nenek moyang) kalian, Ibrahim.’
Mereka bertanya lagi, ‘Apa yang kami dapat darinya?’
Beliau menjawab, ‘Tiap helai rambutnya merupakan satu kebaikan.’
Mereka bertanya lagi, ‘Bagaimana dengan bulu halusnya?’
Beliau menjawab, ‘Tiap rambut dari bulu halusnya juga satu kebaikan’.” (HR Ahmad dan Ibnu Majah).
Karena hukum melakukannya sunnah muakkadah, makruh apabila keluarga
yang mampu meninggalkannya (tidak melakukannya). Dalam hadits yang
diriwayatkan dari Abu Hurairah RA disebutkan, Rasulullah SAW bersabda,
“Barang siapa mampu namun ia tidak melakukan qurban, janganlah ia
mendekati tempat shalat kami.” (HR Ahmad dan Ibnu Majah).
Bagi mereka yang akan melakukannya,
disunnahkan untuk tidak memotong kuku dan rambutnya sejak masuk tanggal 1
Dzulhijah, sebagaimana hadits yang diriwayatkan Ummu Salamah RA bahwa
Rasulullah SAW bersabda, “Apabila kalian telah melihat bulan baru (awal
bulan) dari bulan Dzulhijah, dan salah seorang di antara kalian
berkehendak menyembelih qurban, hendaklah ia menahan dirinya dari
memotong rambutnya dan kukunya.” (HR Al-Jama`ah kecuali Al-Bukhari).
Sekurang-kurangnya qurban untuk seorang adalah seekor kambing yang
tidak cacat. Sedangkan unta, kerbau, atau sapi, dapat untuk tujuh
orang.
Untuk qurban yang wajib dengan sebab nadzar, wajib disedekahkan daging
mentah dari seluruh bagian hewan qurban itu —termasuk kulit dan
tanduknya — kepada orang-orang fakir.
Adapun qurban yang sifatnya tathawwu’ atau sunnah, bolehlah dimakan
sebagiannya oleh orang yang berqurban dan keluarganya. Dalam sebuah
hadits dikatakan, “Jika di antara kalian berqurban, makanlah sebagian
qurbannya.” (HR Ahmad).
Sedangkan sebagian dagingnya yang mentah disedekahkan kepada
orang-orang faqir, dan sebagiannya dihadiahkan atau diberikan makan
kepada orang-orang kaya dan para tetangga. Karena, yang wajib
disedekahkan dari qurban yang sunnah itu adalah sebagian dagingnya yang
mentah walaupun sedikit.
Yang juga penting untuk diingat, seluruh bagian dari hewan qurban
tidak boleh diperjualbelikan oleh yang berqurban. Ini sebagaimana
hadits yang diriwayatkan dari Qatadah bin Nu‘man, Rasulullah SAW
bersabda, “Makanlah oleh kalian (daging qurban) dan sedekahkanlah, dan
nikmatilah pula kulitnya, tetapi janganlah kalian memperjualbelikannya.”
(HR Ahmad).
Jadi, jika seseorang berqurban yang sunnah, ia atau keluarganya boleh
makan sebagian daging qurban itu, bahkan sunnah. Maka tidak perlu ada
ulama yang melarang, bahkan tidak boleh melarang hal demikian. Namun
jika qurban yang dilakukan adalah qurban wajib, misalnya karena
dinadzarkan, ia dan keluarganya tak boleh makan sedikit pun dari daging
hewan qurban itu.
Sumber : Majalah Alkisah
Ohh. .
BalasHapus